
Perkumpulan Karsa, Jambi – Perjalanan bersama tim KKI Warsi itu juga ditemani Menti Gentar–wakil pimpinan adat kelompok orang rimba. Di tengah perjalanan menuju permukiman mereka, kami tak sengaja bertemu kelompok perempuan orang rimba.
Sejumlah betina atau perempuan orang rimba terlihat berkerumun di persimpangan jalan setapak. Perjalanan kami pun terhenti. Menti Gentar mengizinkan kami memotret aktivitas perempuan orang rimba yang tengah sibuk mengolah babi hutan hasil buruan itu.
Perempuan orang rimba yang paling tua terlihat memegang parang. Dia terlihat lihai mencincang daging untuk dibagikan ke anggota orang rimba kelompok Sako Ninik Tuo. Mereka tinggal di bawah Sudung–sebutan untuk rumah orang rimba di sekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
Aroma amis darah langsung menguar dari daging hasil buruan yang ditaruh di alas pelepah daun sawit. Sementara perempuan lainnya membentuk lingkaran menunggu pembagian daging. Seekor anjing hitam pun turut menunggu jatah.
Perempuan orang rimba itu rata-rata menggendong anak kecil. Perempuan orang rimba yang telah memiliki anak disebut dengan induk. Busana perempuan orang rimba itu masih mengenakan kemben kain.
Mereka menenteng periuk kecil untuk wadah daging babi hutan hasil buruan. Setelah daging dibagi rata, lalu mereka pulang dan siap mengolah daging untuk santap malam istimewa bagi mereka.
“Bebi louk makon, melawon (daging babi untuk lauk makan, enak),” ujar Menti Gentar, wakil pimpinan adat Sako Ninik Tuo di wilayah pedalaman Makekal Hilir, Kabupaten Tebo, Jambi.
Daging babi hutan yang dibagi-bagikan itu adalah hasil buruan yang dikerjakan anggota kelompok laki-laki. Sementara untuk anggota perempuan kebagian tugas membagi rata daging dan mengolahnya.
Begitu buruan didapatkan, hasilnya menjadi milik perempuan orang rimba. Anggota kelompok perempuan atau induk rimba berhak untuk mengolah dan membagikan rata kepada anggota kelompok lainnya.
“Kalau hasilnya sudah dibawa pulang sudah menjadi milik perempuan, laki-laki tidak punya hak lagi. Perempuan berhak menentukan pembagian,” kata Manajer Komunikasi KKI Warsi Sukmareni.
Sukmareni, yang ikut dalam perjalanan ke kelompok Sako Ninik Tuo menjelaskan, daging hasil buruan itu dibagi secara merata. Untuk anggota orang rimba yang pergi berburu biasanya akan mendapatkan jatah daging pada bagian rahang.
“Baginya berdasarkan anggota keluarganya, cuma di rumah siapa yang banyak makan itu akan dikasih lebih, jadi tidak ada yang terbuang. Dan prinsipanya setiap anggota kebagian rata,” kata Reni.
“Mereka (orang rimba) mengenal sama rata dan sama rasa, jadi kalau tidak mendapatkan hasil buruan mereka sama-sama tidak merasakan daging,” sambung Reni.
Berburu dalam bahasa rimba disebut dengan mencari louk (lauk). Cara berburu orang rimba dilakukan tidak serempak, melainkan mereka lakukan secara bergiliran. Hal itu mereka lakukan untuk menjaga ketersediaan hewan buruan di hutan. “Jadi ada gilirannya untuk berburu, itu kalau dapat mereka bagi rata terus,” katanya.
Begitu pula dengan cara memasak daging babi hasil buruan itu biasanya dimasak dengan cara mereka sendiri sesuai selera. Namun kata Reni, menurut orang rimba daging hasil buruang yang paling enak dimasak dengan direbus dan dicampur ubi.
“Mereka masaknya sederhana, daging dimasak dengan ubi, kata mereka (orang rimba) ubinya jadi lebih enak karena ada lemak bebinya gitu,” ujar Reni.
Dalam kehidupan sehari-hari perempuan rimba hanya menggunakan kemban. Untuk perempuan yang masih berstatus gadis kain kemben dililitkan sebatas dada. Sedangkan yang sudah menikah kain dililitkan sebatas pusar.
Kehidupan perempuan orang rimba lebih cenderung tertutup bagi orang terang (luar). Namun perempuan orang rimba memiliki peran yang cukup sentral dalam kelompoknya. Selain berwenang menentukan pembagian hasil buruan, perempuan orang rimba juga berwenang dalam penguasaan harta benda.
Secara adat orang rimba menganut garis matrilineal atau garis kerabat wanita. Meski dalam kehidupan orang rimba dipimpin oleh tumenggung seorang laki-laki, namun dalam penguasaan harta benda perempuan mempunyai posisi yang amat penting.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan KKI Warsi menyebutkan, dalam sistem kepemilikan harta rumah tangga perempuan sangat mendominasi kepemilikan harta tersebut.
Hasil atas segala jeri payah laki-laki seperti uang yang diperoleh dari penjualan damar, rotan atau getah jernang, sialang, padi dan hasil kebun lainnya, hasil buruan, buah-buahan seperti durian, dan kain semuanya menjadi milik isteri (icohan betino) penggunaannya diatur oleh isteri.
Dalam struktur orang rimba, suami tidak diperbolehkan mengambil harta-harta tersebut tanpa seizin sang isteri. Pelanggaran atas icohan baik yang dilakukan sang isteri maupun suami masing-masing bisa menuntut denda kepada pasangannya sebanyaknya 30 lembar kain.
“Perilaku ini sangat beralasan, denda yang dijatuhkan dianggap sebagai penawar malu di hadapan anggota kelompok.” tulis KKI Warsi.
Selain itu, dalam lingkungan sosialnya perempuan orang rimba tidak memiliki tempat untuk menduduki struktur kepemimpinan suku. Walaupun adat matrilineal dengan sistem matrilokal seluruh keputusan dan struktur kepemimpinan suku dikuasai oleh kaum laki-laki.
Laki-laki dinilai lebih bersifat netral dan tegas dibandingkan dengan perempuan yang watak khasnya adalah sosok yang penuh kelembutan dan kasih sayang dan karena perempuan rimba juga memiliki keterbatasan ruang publik.
Perempuan orang rimba lebih banyak memegang peran di bidang-bidang kesehatan dan ritual seperti dukun bayi dan membantu melahirkan dan merawat bayi. Juga dukun dalam acara-acara perkawinan dan dukun dalam penyembuhan orang sakit. (Esti)
Sumber: Liputan6com
Sumber: Antara