Oleh:
Venda Pratama
Judul Buku: Weathering The Storm: The Economies of Southeast Asia in the 1930s Depression
Halaman: xv+332
Editor: Peter Boombgard & Ian Brown
Penerbit: Institute of Southeast Asia Studies
Tahun Terbit: 2000
Pandemi Covid-19 dan segala konsekuensi logis yang dihasilkan oleh upaya mitigasinya, diramalkan bisa menciptakan depresi besar seperti di tahun 1930-an. Di tahun itu, depresi global memukul telak perkeonomian negara-negara di Asia Tenggara. Ia memaksa para petani yang sudah terintegrasi ke dalam pasar global untuk meneysuaikan diri agar tetap selamat. Dalam buku Weathering The Storm: The Economies of Southeast Asia in the 1930s Depression dijelaskan bagaimana ekonomi Asia Tenggara yang ditopang oleh pertanian, menyesuaikan diri di tengah lintasan krisis ekonomi global.
Buku ini berisi esai berbahasa Inggris ini merupakan kolaborasi berbagai akademisi dari beragam latar belakang keilmuan. Niat untuk menerbitkan kumpulan esai ini berawal dari diadakannya konferensi Asosiasi Peneliti Eropa untuk Kajian Asia Tenggara (EASAS) pada tahun 1995. Paska diskusi tersebut kumpulan esai ini disatukan dalam lokakarya yang diadakan oleh Sekolah Kajian Afrika dan Oriental di London pada bulan April 1998.
Hasil dari penyatuan esai tersebut, lantas disempurnakan dan dibukukan melalui konferensi EASAS yang kedua di bulan November 1998 kemudian dipublikasikan pada tahun 2000. Dengan variasi data kualitatif dan kuantitatif buku ini mencoba memudahkan pembaca dalam memahami permasalahan depresi besar 1930 di Asia Tenggara. Lebih dari itu, disertakannya referensi bacaan dari para penulis di setiap esai yang ada merupakan berkat bagi para peneliti yang berminat pada kajian Asia Tenggara
Buku ini terdiri dari empat bab. Bab pertama membahas tentang kondisi material di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, Burma dan Filipina. Peter Boomgard mengawali bab ini dengan menyajikan hitoriografi pendapatan bersih Hindia Belanda khususnya Jawa pada masa depresi besar 1930.
Dengan kajian pustaka yang kuat, Boomgard memaparkan dua kutub ilmuwan yang ‘optimis’ dan ‘pesimis’ dalam melihat depresi besar di Jawa. Alhasil dia menyimpulkan perlunya ‘jalan tengah’ dalam melihat kekakuan sudut pandang diantara para ilmuwan.
Pandangan Boomgard tentang perlunya sudut pandang ‘jalan tengah’ didasarkan pada temuannya yang menyatakan bahwa depresi besar memberi efek berbeda pada tiap wilayah regional dan struktur masyarakat. Dengan kata lain, rendah atau tingginya pendapatan bersih suatu wilayah dan struktur masyarakat di jawa berbeda antara satu dengan yang lain. Bisa saja suatu wilayah memberi pendapatan ekonomi yang tinggi disaat wilayah lain memiliki pendapatan rendah.
Selain Boomgard, tiga ilmuwan lain yang menyumbangkan esai dalam bab ini ialah Daniel F Dopers, W G Wolters, dan Ian Browns. Doopers, menulis sebuah esai yang menyajikan data berupa metriks dari cedula (pajak untuk komunitas). Menurut Doopers, berbedanya metriks tiap wilayah regional Filipina saat depresi besar terjadi, tidak semata dipengaruhi oleh faktor ekonomi, melainkan juga oleh faktor perubahan ekologis yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Wolters. Dalam pandangan Wolters bervariasinya efek dari depresi besar di tiap wilayah pertanian di Filipina disebakan oleh perubahan iklim yang memiliki rentang waktu berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Adapun Ian Brown selaku penulis terakhir pada bab ini menulis tentang efek depresi besar bagi industri tekstil di Burma.
Dalam esainya, Brown menulis menurunnya impor tekstil di Burma tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat setempat karena strategi adaptasi yang mereka lakukan demi terciptanya kestabilan ekonomi lokal berjalan lancar.
Bab dua dari buku ini membahas strategi adaptasi dari komunitas pertanian dalam menghadapi depresi besar. Menariknya, esai-esai dalam bab ini menyajikan paparan mendalam tentang intervensi negara koloni dan tanggapan dari masyarakat terdampak seperti petani lokal, pedagang, hingga kreditor.
Thomas J Limblad membuka bab ini dengan menjabarkan kaitan antara strukur masyarakat lokal Hindia Belanda dan struktur pemerintahan Hindia Belanda. Di mata Limbland, depresi besar memang berhasil memukul jatuh perekonomian pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun demikian masyarakat lokal mampu bergerak secara swadaya dalam mengahadapi krisis tersebut melalui perubahan komoditas secara besar-besaran.
Pada tulisan berikutnya, Jeroen Touwel membahas strategi adaptasi dari para petani kecil dan kreditor bidang pertanian di luar jawa yang sebelum depresi besar berfokus pada ekspor menjadi berfokus ke pasar lokal. Pembahasan tentang Hindia Belanda masih berlanjut hingga esai berikutnya yang ditulis oleh S Nawiyanto. Dalam esai tersebut, Nawiyanto menyimpulkan beralihnya fokus pemasaran industri tembakau di Besuki, Jawa Timur dari ekspor ke perdagangan regional intra-negara merupakan bentuk dari adapatasi masyarakat lokal terhadap depresi besar yang efeknya terasa dari tahun 1929 hingga 1939.
Lokus yang berbeda dipilih oleh Sampup Manarusangan dan Irene Nørlund. Dalam tulisannya, Manarusangan menjelaskan tentang kebijakan politik-ekonomi berbentuk pengurangan pajak yang dilakukan oleh Thailand terhadap komoditas padi pada masa depresi besar. Tema pokok padi masih ditulis oleh Nørlund.
Dalam paparannya Nørlund berpandangan bahwa perbedaan efek dari depresi besar bagi sektor pertanian padi di negara-negara koloni Perancis di Indochina disebabkan oleh berbagai faktor seperti perbedaan tingkat keharmonisan relasi politik antara masyarakat, penguasa lokal dan pemerintah kolonial serta heterogenitas kondisi ekologi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Bab tiga merupakan bab yang paling saya suka dari buku ini. Melalui esainya William Gervase Clarence-Smith membuat penjelasan tentang peran pengusaha Arab Hadhrami di Hindia Belanda dan Malaya pada masa depresi besar menjadi lebih jelas. Dengan melihat aktivitas bisnis pengusaha Arab yang beroperasi di wilayah-wilayah tersebut, Clarence-Smith memberikan catatan tentang interaksi kompleks antara pedagang Hadhrami keturunan Nabi Muhammad SAW (sayyid) dengan pelaku ‘asing’ lainnya seperti orang China, Jepang ataupun orang Arab non-sayyid yang tidak selamanya berjalan harmonis tapi saling membutuhkan. Secara sekilas bab ini sangat mengarah ke pedagang Arab yang berbasis di Hindia Belanda, namun demikian masalah pedagang Arab di Singapura dan Malaya juga bisa ditemukan dengan cukup memadai.
Bab empat sebagai bab terakhir dari buku ini didedikasikan untuk menjelaskan reaksi negara terhadap ancaman dari depresi besar. Di bab ini Pierre Brocheux merinci bagaimana Indochina Perancis menangani depresi besar, selanjutnya Paul Kratoska menganalisis ketegangan antara pemerintah kolonial Inggris dan masyarakat lokal Malaya akibat perbedaan kepentingan saat depresi besar melanda. Ketegangan ini merupakan salah satu langkah awal yang memicu gerakan nasionalis bergerak untuk memerdekakan diri dari Inggris. Adapun artikel terakhir pada bab empat yang ditulis oleh Anne Both memaparkan laporan kuantitatif tentang tingkat perdagangan anta negara di wilayah Asia Tenggara dengan negara lain di luar regional Asia Tenggara.
Secara umum buku ini mampu menjelaskan kompleksitas dari depresi besar yang efeknya di Asia Tenggara tidak homogen. Selain itu, lewat buku ini pembaca bisa tahu bahwa akibat postif ataupun negatif dari depresi besar tidak hanya disebakan oleh manusia, tapi juga dipengaruhi oleh faktor alam. Artinya di luar urusan ekonomi, uusan ekologis juga harus diperhatikan, karena mereka memiliki sifat yang relasional terhadap manusia.
Sayangnya, beberapa esai dalam buku ini terlampau deskriptif dan berfokus pada angka sehingga terkesan cukup membosankan jika dibaca oleh pembaca yang gemar membaca buku-buku humaniora. Di luar itu, kajian tentang buruh tani dan masyarakat adat yang sudah terintegrasi dengan pasar global di masa itu juga tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Padahal jika kajian tehadap kelompok-kelompok yang hingga kini masih termarjinalisasi di Asia Tenggara ini diberikan, akan lebih banyak pelajaran yang bisa kita terima dalam menghadapi krisis-krisis selanjutnya.