Mampukah Program Percepatan Pembaharuan Agraria Meningkatkan Kesejahteraan Komunitas Masyarakat Adat?

Besipae NTT
Masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur yang melaporkan pengrusakan rumah di tanah adat yang membuat mereka kehilangan tempat tinggal ke kepolisian, Rabu (19/08/2020).
Yogyakarta–Program Percepatan Pembaharuan Agraria (P3A) Pemerintah Indonesia sedang dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan dukungan dari Bank Dunia. Tujuannya untuk memperjelas penggunaan lahan yang sebenarnya dan kepastian hak atas tanah di tingkat desa di tujuh propinsi terpilih. Program ini diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan, tata kelola lahan, stabilitas sosial, pertumbuhan inklusif, penyelesaian konflik serta perlindungan dan konservasi lingkungan.

Untuk mempercepat pemetaan dan pendaftaran tanah, pemerintah saat ini tengah melaksanakan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Kelak tidak ada satu luasan lahan atau bidang tanah yang tidak dipetakan atau tidak terdaftar. Diharapkan perselisihan tanah karena batas-batas yang tumpang tindih dan kekeliruan sertifikasi bisa ditangani lebih baik dan sengketa di masa depan dapat diminimalisir. Program mentargetkan pendaftaran 23 juta bidang tanah di luar kawasan hutan pada tahun 2019, terutama di propinsi prioritas seperti Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, serta Kalimantan Timur, Tengah, Barat dan Selatan.

Dalam hal itu, pemerintah menyusun kerangka kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial atau yang disebut dengan ESMF (Enviromental and Social Manajement Framework) yang memberikan tinjauan umum tentang proses, susunan kelembagaan dan kerangka kerja untuk menangani dan mengurangi aspek lingkungan dan sosial dari program tersebut. Kegiatan program akan melibatkan dan mempengaruhi Masyarakat Adat secara langsung, karena kegiatan pemetaan kemungkinan akan dilakukan di wilayah yang diklaim oleh Masyarakat Adat.

Hal yang perlu menjadi catatan dari permasalah yang selama ini kerap muncul untuk segera diantisipasi adalah: (a) kurangnya partisipasi masyarakat, karena lemahnya akses informasi, diskriminasi kelompok tertentu serta kurangnya kemauan berpartisipasi; (b) kurang-akuratnya pengumpulan data fisik dan data yuridis, menimbulkan kekeliruan sertifikasi sebagai sumber sengketa di masa depan; (c) potensi ketegangan dan konflik yang bersumber dari kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang program. Penyelesaian konflik kepemilikan tanah menjadi masalah utama juga yang perlu diperhatikan.

Dijabarkan pula bagaimana pendekatan utama ESMF dalam langkah-langkah pencegahan dan mitigasi resiko sebagai berikut: (a) adanya keterlibatan masyarakat; (b) prosedur penyaringan pengamanan; (c) peningkatan keterlibatan pemangku kepentingan selama persiapan dan pelaksanaan program; (d) mekanisme penanganan keluhan; (e) mengatasi resiko dampak kerusakan lingkungan; (f) pengarus-utamaan masalah gender; (g) memastikan keterlibatan masyarakat adat; (h) pemantauan oleh masyarakat; (i) peningkatan kapasitas;

(j) memperhatikan sumberdaya untuk pengelolaan lingkungan dan sosial, dan; (k) rencana pemberitahuan dan konsultasi publik. Selain itu, disiapkan pula perangkat program bernama Project Operations Manual (POM) yang akan mengkonsolidasikan ketentuan mengenai konsultasi publik, pemberitahuan informasi dan penanganan keluhan yang penting bagi pelaksanaan dan pengelolaan ESMF. POM akan menguraikan, menetapkan sumberdaya dan batas waktu untuk penerapan tindakan yang direkomendasikan. (Sumber: Draft Final Program Percepatan Pembaharuan Agraria: Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial/ESMF).

Mencermati paparan dari bahan kerangka kerja ESMF tersebut, berikut beberapa catatan kritis yang bisa penulis sampaikan:

(1) Sebuah kemajuan adanya suatu kebijakan program pemerintah yang bersifat top-down yang turut memperhatikan serta menyiapkan langkah-langkah antisipatif terhadap masalah-masalah yang kemungkinan muncul saat implementasinya nanti di lapangan. Seperti diketahui bahwa masyarakat bawah sudah jenuh dengan pola-pola top-down yang selama ini dijadikan model dalam menetapkan sebuah kebijakan.

(2) Untuk itu perlu kiranya (karena hal ini juga sudah dijamin dalam penjelasan program), agar masyarakat lokal tetap diberi kelonggaran dalam menentukan dan menetapkan sendiri model-model ataupun pendekatan dalam pelaksanaan program percepatan pembaharuan agraria ini mengingat karakter dan kebiasaan di masing-masing daerah (lokasi) berbeda-beda. Jangan memaksakan keseragaman pendekatan.

(3) Banyaknya timbul konflik atau pun sengketa lahan di masa lalu lebih disebabkan adanya intervensi dari aparat ataupun unsur pemerintah sendiri yang lebih mengakomodir ataupun memberi akses kepada pengusaha baik dalam negeri maupun luar negeri (MNC), ketimbang kepada masyarakat adat/lokal yang sudah menggarap lahan sekian puluh tahun lamanya. Termasuk adanya lahan-lahan besar/luas yang diberikan dan dikuasai perorangan (pengusaha/pejabat) ataupun instansi negara (TNI dll).

(4) Dibutuhkan ketegasan program agar bersikap adil dan berani menindak secara tegas bagi pelaku atau pun pemilik hak guna usaha lahan luas yang dimiliki perorangan dan instansi negara tadi yang justru tidak produktif dikelola. Sementara komunitas masyarakat adat masih banyak yang justru diusir hingga dianggap sebagai pengrusak lahan yang ingin mereka olah demi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Komunitas masyarakat adat seperti itu menjadi korban dari ketidakadilan kebijakan kepemilikan lahan oleh pemerintah masa lalu.

(5) Setuju untuk melibatkan komponen masyarakat secara lebih luas dalam pelaksanaan program nantinya. Terlebih kepada mereka kelompok LSM yang selama ini sudah mendampingi komunitas masyarakat adat, hingga memiliki pengetahuan terkait dengan pola pendekatan. Selain itu juga mereka memiliki data dan sumber yang lebih valid yang dapat digunakan dalam pembuatan kajian kebijakan. Juga mereka yang ada dalam komunitas masyarakat adat sendiri, karena bagaimanapun mereka lah yang akan dijadikan sebagai obyek sekaligus subyek kebijakan.

(6) Jika program percepatan pembaharuan agraria berjalan, agar arahan dari kerangka kerja ESMF benar-benar dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa dokumen lain yang harus disusun, yang bersifat operasional. Misalnya, jika proyek bersinggungan langsung dengan masyarakat adat, maka harus ada dokumen indigenous peoples plan (IPP) atau yang juga disebut Community Development Plan. Tentu saja harapannya perangkat operasional program semacam IPP yang dimaksud dalam ESMF tersebut harus segera dibuat.

(7) Agar pula program ini berlanjut kepada bagaimana mensejahterakan tingkat hidup masyarakat adat pengelola lahan kecil. Mereka sebagai penduduk dan juga warga negara berhak mendapat pelayanan yang diberikan negara sama dengan yang didapatkan warga lainnya yang hidup, misal di daerah perkotaan di pulau Jawa. Fasilitas berupa infrastruktur maupun pelayanan kesehatan dan pendidikan juga ekonomi (pasar) agar disiapkan dan dikembangkan di wilayah-wilayah hutan terpencil dan daerah perbatasan (terluar).

Leave a Comment