
Yogyakarta–Tanpa ada angin ataupun hujan, Yando Zakaria, Peneliti Perkumpulan KARSA, melontarkan sebuah wacana (atau tepatnya pertanyaan untuk dijadikan bahan diskusi bagi pegiat sosial utamanya masyarakat adat?) tentang MHA untuk dicukupkan saja dan dijadikan sejarah, ada apa? Hal ini dikutip dari akun fb nya, Rabu (23/3), Yando menuliskan sebagai berikut:
“BTW, bagaimana kalau ke depan wacana masyarakat hukum adat (pasal 18B ayat 2) dan masyarakat tradisional (pasal 28i ayat 3), dan masyarakat adat (yang tidak tercantum dalam konstitusi namun ingin disejajarkan dengan terma IPs di tingkat global) ‘dicukupkan saja sebagai sejarah’? Selanjutnya, hal-hal yang terkait padanya diakomodasi saja ke dalam pengaturan-pengaturan lebih lanjut tentang hak-hak kewarganegaraan,” tulisnya.
Lebih lanjut, ia mencontohkan soal tanah. Menurutnya, di samping ada tanah negara, hak milik individual, juga harus ada peluang pendaftaran tanah hak komunal/hak milik bersama (yang fakta lapangannya juga beragam.
Tidak cukup di situ, ia juga menganalogkan hal akan hak berkeyakinan, “Selain sudah ada 6 ajaran yang dianggap sebagai agama, ditambahkan pula apa yang disebut ‘agama tradisi’. Atau kalau ada yang beranggapan penyandingan kata agama dan tradisi itu mencemarkan makna suci kata agama (?), bisa diganti dengan nomenklatur ‘kepercayaan/keyakinan tradisi,” tambahnya.
Menurutnya lagi, hak politik dalam konteks sistem pemerintahan sudah ada/tertampung dalam nomenklatur desa adat sebagaimana yang diatur oleh UU Desa 6/2014. Atau bisa juga menggunakan daerah otonomi khusus sebagaimana diatur pada pasal 18B ayat 1 UUD 1945.
“Berhubung UU Kehutanan hanya mengatur fungsi suatu kawasan (tata ruang dan pengusahaannya) ya cukup mengatur fungsi kawasan dan pengusahaanya saja. Dengan begitu kita nggak butuh nomenklatur ‘hutan adat’ itu. Toh dengan nomenklatur hutan adat saat ini tak mengubah situasi di tingkat tapak? Biarkan ATR/BPN yang mengatur apakah di kawasan hutan itu ada tanah-tanah yang layak diberikan sertifikat hak milik bersama/sertifikat komunal atau tidak,” terangnya.
Bagi Yando, lain-lain hal yang berkaitan dengan tradisi cq adat-istiadat itu toh sudah ada UU Pemajuan Kebudayaan. Tinggal dijalankan, “Dengan cara pandang yang seperti ini kita berharap entitas yang disebut ‘masyarakat adat’ itu tidak lagi dilihat sebagai sosok yang mencemaskan. Apalagi sebagai sumber disintegrasi negara-bangsa,” tutupnya.