Kaum Perempuan Melawan dan Bertahan Kala Ruang Hidup Terancam (2)

May be an image of 4 people, people standing, outdoors and text that says "Nyai Jusma dan petani perempuan Lubuk Mandarsah, Tebo berjuang lahannya yang berkonflik dengan HTI PT WKS. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia"
Perkumpulan Karsa – Di Tebo, Jambi, para petani perempuan berjuang dan melawan mempertahankan lahan tani mereka yang masuk klaim perusahaan perkebunan kayu. DI Papua, perempuan adat pun terancam kehilangan hutan karena kehadiran bisnis kala besar. “Kami tidak mau tanah kami berpindah tangan. Kami tidak mau hutan kami rusak karena perkebunan sawit, karena di hutan kami hidup, kami meramu,” kata Rosita Tekcuari, Ketua Organisasi Perempuan Adat Namblong.
Masyarakat adat Namblong, Kabupaten Jayapura, Papua, terlebih para perempuan ketar-ketir karena operasi perusahaan sawit, PT Permata Nusa Mandiri di wilayah adat mereka. Hutan adat terbabat, ruang hidup hancur, perempuan bakal menerima dampak berlapis-lapis. Krisis sosial dan ekologis akan menimpa mereka. Di sana, sumber air, sumber pangan, obat-obatan, tradisi, budaya dan lain-lain. Sudah dua tahun tidak ada aktivitas, tiba-tiba ada pembukaan hutan setelah pengumuman pencabutan lahan oleh Presiden Joko Widodo 6 Januari lalu.
Greenpeace memantau, sampai 19 Februari 2022 sekitar 70 hektar hutan ditebang, antara lain masuk lokasi ekowisata pengamatan Cenderawasih. PMN, merupakan satu dari 192 perusahaan yang tercantum dalam Keputusan KLHK Nomor 1 tahun 2022 terkait pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Perusahaan ini sudah mengantongi izin HGU sejak 15 November 2018. Dengan pencabutan izin pelepasan hutan perusahaan seluas 16.182 hektar melalui Keputusan Menteri LHK itu, operasi pembukaan hutan setelah itu jadi ilegal menurut UU Kehutanan.
PNM, kata Rosita, terus melawan pemerintah dengan cara tak mengindahkan surat keputusan yang ada dan pernyataan Presiden Joko Widodo. Di lapangan, perusahaan PNM dengan izin pelepasan kawasan hutan dicabut namun terus membersihkan hutan adat. “Kami perempuan adat menyatakan sikap kepada pemerintah segera meninjau kembali semua keputusan yang diambil dan diberikan kepada PNM dan perusahaan manapun di Grime Nawa, wilayah Mamta atau di atas tanah Papua,” katanya dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu.
Masuknya perusahaan tak memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat adat. “Kami mendapat beban hidup sangat berat karena suami sudah tidak berburu di hutan lagi.” Sebelumnya, masyarakat adat bisa berjualan hasil kebun, sagu dan hasil buruan di pasar untuk biaya hidup sehari-hari. Dari bayar listik, kebutuhan sekolah anak, dan kebutuhan keluarga lain. Devi Anggraini, Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan perempuan pada posisi rentan ketika ada ‘pembangunan’ di nusantara ini mulai perencanaan, maupun proyek atau bisnis skala besar yang sedang berjalan.
“Apalagi perempuan adat ya, jika masyarakat adat saja masih diabaikan apalagi perempuannya.” Kerentanan ini makin besar dengan kehadiran Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan karpet merah terhadap proyek-proyek ekstraktif, infrastruktur maupun proyek strategis nasional. Pendekatan pemerintah, kata Devi, lebih menekankan upaya kapitalisasi aset pemerintah terkait sumber daya alam itu akan merampas wilayah hidup masyarakat adat dan mengekslusi perempuan adat dari ruang hidup.
Pendekatan ini, katanya, akan menyingkirkan perempuan dari pengetahuan di alam, misal, terkait menenun, meramu, mencari obat-obatan, dan sumber pangan. “Melalui ruang hidup itu, bukan hanya peran yang dipinggirkan tapi identitas perempuan itu akan hancur. Secara terstruktur dan sistematis itu negara itu ingin tidak ada peran perempuan adat yang memastikan kebudayaan dan peradaban Indonesia itu akan terus menguat.”
Bukan masyarakat adat menolak pembangunan, kata Devi, tetapi pemerintah seringkali mengabaikan ekonomi masyarakat dan alam. Pemerintah, katanya, lebih berpihak pada ekonomi makro yang memfasilitasi segelintir elit dalam proses-proses pembangunan. “Hingga ancaman pada ekologi, perempuan adat itu terjadi penghancuran pada identitas sebagai masyarakat adat karena ruang hidup punah, pengetahua habis, semua akan hilang.”
Sejak 2019, AMAN Bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat memberikan masukan kepada Badan Legislasi dalam penyempurnaan draf RUU. Salah satunya, terkait upaya menambahkan perlindungan hak kolektif perempuan adat dalam draf itu. Sayangnya, draf dari Badan Legislasi tidak muncul. Situasi ini mengasumsikan, negara sama sekali tak ingin menyelesaikan masalah selama puluhan tahun. “Produk-produk hukum yang netral gender maupun ada keberpihakan kepada perempuan, namun seringkali tindakannya (implementasi) jauh dari bagaimana membuat afirmasi itu diwujudkan sendiri.”
Dia contohkan, banyak syarat, misal soal tamatan sekolah. “Perempuan adat akan tersingkir dengan sendirinya dengan ada syara-syarat, misal pendidikan terakhir SMA.” Keberpihakan pada perempuan, kata Devi, tidak akan terjadi kalau tidak ada penyiapan infrastruktur pendukung sesuai realitas masyarakat. Seperti, akses dan kesempatan pendidikan sama. Pentingnya penegasan peran perempuan ini, kata Devi, karena perencanaan pemanfaatan hutan seringkali didominasi pendekatan maskulin.
“Padahal, yang bekerja dalam hutan itu terutama perempuan, menjaga sumber air, memastikan sumber pangan dan obat-obatan.” Untuk itu, pasal eksplisit terkait perempuan penting tercantum dalam draf RUU Masyarakat Adat agar tidak ada ruang abu-abu dalam pengakuan hak kolektif perempuan adat terutama terkait pengetahuan. (Awib)
Sumber: Mongabay.co.idPenulis: Sapariah Saturi

Leave a Comment