Sebagian ibu-ibu warga Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, menangis dalam aksi memblokade akses sebuah perkebunan kelapa sawit, Jumat (18/3/2022)
Perkumpulan Karsa, Riau – Ratusan warga Desa Kepau Jaya, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, memblokade akses sebuah perkebunan kelapa sawit, Jumat (18/3/2022) sore. Aksi itu dilakukan warga, karena lahan itu masuk kawasan hutan adat Kenegerian Buluh Nipis di Desa Kepau Jaya.
Warga juga sudah melakukan gugatan dan menang di Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang di Kampar pada 2014. Sayangnya, menurut warga, negara belum melakukan eksekusi lahan sampai saat ini. Pantauan di lokasi, aksi blokade akses perkebunan kelapa sawit ini, dilakukan warga bersama ninik mamak Kenegerian Buluh Nipis.
Menurut ninik mamak, kawasan hutan adat mereka dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh seseorang bernama Surianto alias Ayau. Dalam aksi itu, sejumlah ibu-ibu tampak menangis histeris. Mereka minta dikembalikan tanah adat atau tanah ulayat.
“Sudah delapan tahun kami berjuang merebut tanah ulayat ini. Tolong bantu kami Pak Presiden Jokowi. Hanya kepada bapak kami berharap bisa membantu kami yang susah ini,” kata seorang wanita bernama Mardona (36) sambil menangis.
Tak hanya Mardona, Siti Rahayu warga lainnya juga berurai air mata meminta keadilan pemerintah. Mereka meminta pemerintah untuk bisa mengembalikan hutan adat kepada warga.
“Kami sudah menang gugatan di pengadilan Pak Jokowi, tapi kenapa tanah ini tidak dikembalikan kepada kami. Kami orang kampung yang susah, bantu kami Pak Jokowi,” ucap Siti.
Sementara itu, Suardi selaku Datuok (Datuk) Maharaja Bosau (Besar), Pucuk Pimpinan Adat Kenegerian Buluh Nipis, menjelaskan bahwa kawasan hutan adat yang dikuasai pihak lain seluas 1.508 hektare. Pihaknya bersama warga meminta tanah adat untuk dikelola menjadi perhutanan sosial.
“Tanah kami ini dikuasai Pak Ayau dan dijadikan kebun sawit. Entah apa dasar dia menggarap tanah kami. Padahal ini tanah kami,” kata Suardi, Jumat. Tanah adat yang dikuasai oleh Ayau, sebut dia, sudah digugat sebelumnya ke Pengadilan Negeri Bangkinang.
Menurutnya, pengadilan telah memutuskan lahan itu merupakan kawasan hutan adat milik warga setempat. “Sudah delapan tahun putusan inkrah di pengadilan. Tapi, sampai hari ini tidak dieksekusi. Sehingga kami tak bisa menikmatinya,” kata Suardi yang diamini ninik mamak lainnya.
Oleh sebab itu, ninik mamak meminta pemerintah memperhatikan nasib warga Desa Kepau Jaya. “Kami minta tolong kepada Bapak Presiden, agar tanah ulayat ini dikembalikan kepada kami demi masa depan anak dan cucu kami. Apa harus kami sampai menumpahkan darah di sini, pak. Kami akan lakukan itu apabila tak ada lagi keadilan bagi kami,” kata Suardi dengan nada sedih.
Digugat ulang
Warga kembali melayangkan gugatan ke PN Bangkinang di Kampar. Karena, gugatan sebelumnya tak ada hasil meski sudah dimenangkan warga adat. Ahlakul Karim, selaku tokoh masyarakat Desa Kepau Jaya menyampaikan, lahan seluas 1.508 hektare yang dikuasai oleh seorang pengusaha kebun sawit sudah kalah dalam gugatan di PN Bangkinang.
Tanah Ulayat itu kini dikuasai oleh perorangan bernama Surianto alias Ayau. Luas lahan 1.508 hektar. Dulu sudah pernah digugat sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan menang. Ayau kalau gugatan tahun 2014 di PN Bangkinang,” kata Ahlakul saat diwawancarai, Jumat.
“Namun, sampai hari ini lahan tersebut belum dieksekusi oleh negara melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Karena lahan ini adalah kawasan hutan,” sebut Ahlakul.
Karena sudah delapan tahun tanah ulayat tak dieksekusi dan dikembalikan kepada masyarakat adat, Ahlakul bersama tokoh masyarakat dan ninik mamak kembali melayangkan gugatan ke PN Bangkinang, pada 15 Maret 2022 lalu.
Gugatan mereka buat, karena kawasan hutan adat telah berubah fungsi menjadi kebun sawit. Padahal, tanah itu itu sejatinya untuk kemakmuran warga yang jauh dari perkotaan itu.
“Maka kami menutup akses masuk perkebunan sawit sampai ada keputusan hukum tetap. Kami berani menutup akses jalan masuk perkebunan, karena sudah ada putusan inkrah 2014 itu,” kata dia.
“Kami akan terus memperjuangkan tanah ulayat masyarakat. Agar tanah ini dinikmati oleh warga tempatan. Karena sampai hari ini warga hanya bisa gigit jari, tak ada yang diajak bermitra atau kerja sama mengelola lahan. Jadi, kami minta negara mengembalikan tanah ulayat kepada warga,” tambah Ahlakul.
Lebih kurang dua jam di lokasi, tak ada satupun pihak pengelola kebun sawit yang datang menemui warga. Warga akhirnya membubarkan diri setelah memasang portal sebagai penutup akses jalan perkebunan. (Awib)