Tiga Generasi Suku Anak Dalam Mengaku Tertipu Janji Perusahaan Sawit

Orang Rimba kubu Tebing Tinggi saat ini telah berpencar-pencar, dan sebagian dari mereka tinggal di kebun orang lain dengan pondok-pondok yang terbuat dari kayu dan terpal.
Investigasi yang dilakukan oleh BBC, The Gecko Project, dan Mongabay menemukan bahwa masyarakat berpotensi kehilangan triliunan rupiah setiap tahun, karena perusahaan sawit gagal memenuhi kewajiban mereka membangun plasma, seperti yang dimandatkan oleh undang-undang.
Perkumpulan Karsa, Sumut – Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba di Desa Tebing Tinggi, Sumatra Selatan, mengaku menyerahkan lahan kepada sebuah perusahaan sawit pada 1995, yang menurut mereka menjanjikan kesejahteraan di masa depan. Setelah tiga generasi, tanah mereka telah berganti menjadi perkebunan sawit, namun Orang Rimba justru melewati penjara dan kemiskinan.
Ini hanyalah satu dari seratus lebih konflik perkebunan sawit dalam sepuluh tahun terakhir yang berkaitan dengan plasma – sebuah sistem yang semula ditujukan untuk membangun kesejahteraan dan membentuk kemandirian masyarakat lokal. Mat Yadi menelusuri jalur sungai sambil sesekali menghujam tombaknya di antara patahan batang pohon yang sudah tumbang.
Salah satu Kepala Suku Orang Rimba kubu Tebing Tinggi itu berusaha memburu kura-kura, ikan atau labi-labi yang bersembunyi di antara bebatuan, sebagai “lauk makan” buat keluarga. Tapi hari itu, tak ada hewan buruan didapat. Mat Yadi memutuskan mencabut kakinya dari dalam lumpur sungai, dan beranjak mendaki ke tepian.
“Kalau dulu itu satu hari minimal paling tidak satu atau dua ekor [hewan buruan]. Sekarang ini ndak dapat lagi. Kadang-kadang berminggu-minggu, juga ndak dapat,” kata Mat Yadi saat ditemui, Oktober 2021. Pondok yang ditempati Mat Yadi bersama istri dan dua anaknya adalah susunan kayu dengan terpal biru sebagai atapnya. Belasan pondok serupa yang ditempati sekitar 20 keluarga Orang Rimba Tebing Tinggi, dibangun melingkar.
Tanah ini milik orang lain, kata Mat Yadi, “Kami mengungsi di sini, karena terusir oleh perusahaan, setelah tanah kami dikuasai oleh perusahaan,” kata Mat Yadi. Padahal awalnya, kata Mat Yadi, Suku Anak Dalam memiliki lahan hutan adat yang disebutnya “sangat penting untuk sumber kehidupan kami, anak cucu kami.”
“[Tanah adat itu] diserahkan pada perusahaan, tapi nyatanya nggak ada dikembalikan lagi ke kami, sudah diambil semua. Janji ini tadi, bohong,” lanjut Mat Yadi. Pada periode 1995-1996, sebut Suku Anak Dalam, PT London Sumatra Indonesia (PT Lonsum) menawarkan kemitraan inti-plasma kebun sawit.
Orang Rimba Tebing Tinggi sepakat menyerahkan lahan mereka pada perusahaan dan sebagai gantinya, kata mereka, perusahaan berjanji mengembalikan sebagian tanahnya kepada mereka, dengan telah ditanami sawit. “PT Lonsum mau bertatap muka dengan masyarakat dengan tujuan membuka kebun, yang caranya adalah mitra kerja,” kata Rebani bin Hasyim, yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Desa Tebing Tinggi.
Saat itu, Orang Rimba mengaku memiliki lahan hutan adat seluas 2.500 hektare di Desa Tebing Tinggi – salah satu desa tertua di Sumatra Selatan yang terbentuk secara alami. Dari 2.500 hektare itu, menurut catatan mereka, sebesar 1.100 hektare akan diberikan sebagai plasma kepada kelompok transmigran dari Desa Karya Makmur.
Sementara sisanya, seluas 1.400 hektare atau 10 kali kompleks Stadion Gelora Bung Karno dijanjikan akan dibangun kebun plasma yang hasilnya menjadi hak Orang Rimba, “Tujuannya, untuk kesejahteraan masyarakat,” tambah Rebani yang mengatakan, saat itu ia memegang janji lisan dari PT Lonsum.
Kini, pohon-pohon sawit yang ditanam PT Lonsum telah menjulang tinggi, dipanen berkali-kali. Hasilnya dibawa ke pabrik pengolahan dan menghasilkan minyak sawit bernilai jutaan dolar. Namun lebih dari seperempat abad kemudian, Suku Anak Dalam mengaku tidak pernah menerima sepeser pun keuntungan yang dijanjikan.
PT PP London Sumatra Indonesia Tbk berdiri sejak 1906. Menurut laporan tahunan perusahaan pada 2020, di seluruh Indonesia, PT Lonsum menguasai lahan sawit seluas 96.074 hektare – ini setara dengan gabungan wilayah Jakarta, Bogor dan Depok. Perusahaan ini adalah anak perusahaan Salim Group, salah satu konglomerasi terbesar di Indonesia.
Dari 1.400 hektare perkebunan kelapa sawit yang menurut Suku Anak Dalam dijanjikan kepada mereka, kami memperkirakan PT Lonsum dapat menghasilkan USD $1,2 juta per tahun atau sekitar Rp7,2 miliar. Selama dua dekade konflik lahan ini, keuntungan dari kebun seluas itu kemungkinan telah melampaui USD $30 juta atau lebih dari Rp430 miliar.
Kami telah mengirimkan permintaan wawancara ke PT Lonsum. Melalui surat elektronik, Sekretaris Perusahaan Endah R. Madnawidjaja mengatakan, “Dengan sangat menyesal saat ini Direksi Lonsum belum bersedia berpartisipasi sebagai narasumber dalam wawancara tersebut.” Indofood Agri Resources, perusahaan induknya, juga tidak menanggapi permintaan komentar atas temuan-temuan kami.
Janji manis plasma
Sejak 1970-an, pemerintah Indonesia mendorong perusahaan-perusahaan membangun perkebunan untuk masyarakat lokal atau kelompok transmigran dengan skema kemitraan “inti-plasma”. Perusahaan bermitra dengan masyarakat; mengelola lahan menjadi perkebunan yang modalnya berasal dari bank atau pinjaman lainnya.
Kemudian, biaya modal tersebut dikembalikan oleh petani dengan cara mencicil dari potongan hasil panen.
Dalam kemitraan ini, perusahaan mendapat jatah perkebunan dari lahan yang diserahkan masyarakat atau negara, disebut sebagai “inti”. Sementara bagian lahan perkebunan masyarakat disebut sebagai “plasma”.
Namun seiring dengan semakin banyaknya perusahaan perkebunan di Indonesia, berbagai tuduhan mulai bermunculan terhadap perusahaan-perusahaan yang mengingkari janji – dan kewajiban hukum – untuk menyediakan plasma.
Akan tetapi, tidak ada yang tahu seberapa besar skala permasalahan ini. Berdasarkan laporan-laporan media dan sumber-sumber lain, kami mengidentifikasi tuduhan-tuduhan telah dilayangkan masyarakat terhadap lebih dari 150 perusahaan sawit karena gagal menyediakan plasma selama sepuluh tahun terakhir.
Analisis yang dilakukan oleh BBC Indonesia bersama The Gecko Project dan Mongabay terhadap data terbaik yang tersedia dari pemerintah memberikan gambaran suram, yang menunjukkan perusahaan-perusahaan sawit telah gagal menyediakan ratusan ribu hektar plasma untuk masyarakat. Puluhan ribu keluarga di Indonesia berpotensi tidak menerima plasma dan secara kumulatif kehilangan triliunan rupiah per tahun yang seharusnya menjadi milik mereka.
Sementara itu, Suku Anak Dalam atau Orang Rimba kini hidup berdampingan dengan kemiskinan. Orang Rimba Tebing Tinggi, yang menurut data Tim Advokasi Orang Rimba berjumlah sekitar 571 keluarga, sekarang tinggal berpencar-pencar. Ada yang hidup di kebun-kebun orang, seperti Mat Yadi. Ada pula yang bermigrasi ke desa-desa tetangga.
“SAD tidak ada lagi mata pencariannya atau bertahan hidup sehari-hari. Mau berkebun tidak ada lagi hutan, mau memotong [kayu] jelutung, atau mengambil isi hutan tidak ada lagi, dikarenakan sudah dijadikan perkebunan sawit. Harapan terakhir SAD adalah plasma yang dijanjikan PT Lonsum,” kata pengacara Orang Rimba, Mustika Yanto.
Medi Iswanda, anggota Tim Advokasi Orang Rimba Tebing Tinggi, berkata masyarakat telah melakukan “aksi dan demo” sejak 2001. Masyarakat juga telah mengadukan persoalan plasma ini ke pemerintah, mulai dari pemda hingga ke DPRD Musi Rawas, namun tidak menemukan penyelesaian. Di rapat Komisi I DPRD Musi Rawas 2013, misalnya, disebutkan bahwa PT Lonsum “tidak mempunyai referensi serta tidak mengetahui letak lokasi atas lahan”.
Dalam berita acara ini juga disebutkan surat Hak Guna Usaha (HGU) nomor 10 tahun 2000 yang dimiliki PT Lonsum, janggal. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Musi Rawas mencatat “tidak pernah membuat atau mengeluarkan surat Keputusan Hak Guna Usaha atas lahan seluas 1.400 hektare yang terletak di Desa Tebing Tinggi Kecamatan Nibung untuk diberikan kepada PT Lonsum Tbk”.
“Benar,” kata I Wayan Kocek yang saat itu menjabat Ketua Komisi I DPRD Musi Rawas Utara, merujuk pada dokumen tersebut. “Mereka nggak bisa menjelaskan begitu ada detail,” katanya saat dihubungi. Dalam sebuah kesepakatan pada 2015, PT Lonsum disebut bersedia membangun kebun Plasma untuk Orang Rimba Tebing Tinggi. Namun, Orang Rimba mengatakan, itu adalah janji untuk kesekian kalinya.
Janji-janji yang tak kunjung terealisasi itu, kata Orang Rimba, membuat kesabaran mereka habis. Pada awal 2017, sebagian Suku Anak Dalam mendirikan pondok-pondok dan memasang patok batas di atas lokasi lahan pengganti yang mereka klaim dijanjikan PT Lonsum, sebagai bentuk protes. Namun, sebut mereka, pondok-pondok yang terbuat dari kayu dan terpal lalu dibongkar paksa.
Aksi balasan dilakukan, para pengunjuk rasa menahan mobil Dam Truk Dutro milik perusahaan. Pemerintah setempat berusaha melakukan mediasi, tapi para demonstran tak mendapat jawaban pasti. “Jika tidak ada penyelesaian pada hari ini, kita langsung bakar saja. Kita bakar dulu pos sekuriti Lonsum sebagai peringatan,” teriak seseorang, menurut catatan pengadilan dalam sidang tuntutannya di kemudian hari.
Mendengar komando itu, sebagian warga kembali beraksi. Dengan mobil dan sepeda motor mereka membawa kayu dan minyak solar yang sudah dibungkus dengan plastik, lalu menuju pos keamanan dan kantor divisi PT Lonsum Sei Kepayang Estate. Mereka memecahkan jendela-jendela dengan batu dan parang. Dedaunan sawit yang telah kering mereka kumpulkan lalu dibakar. Sebuah video amatir merekam gambar kantor PT Lonsum dilalap api.
Diredam dengan kekerasan
“Tuntutlah hak kami, lahan kami kan diambil oleh PT Lonsum,” kata Lina, keturunan Orang Rimba, saat ditanya alasannya turut melakukan aksi pada 2017 itu. Malam hari setelah demo besar tersebut, polisi menggerebek pondok dan rumah Orang Rimba. Sekitar 45 orang dipenjara, enam di antaranya adalah perempuan – Lina salah satunya.
“Pintu didobraknya, hancur. Langsung masuk kamar, untuk tangkap kami. Ada anak kecil, hampir diinjaknya di sini,” kisah Lina dengan air mata berlinang. Enam bulan di penjara, Lina mengaku lebih banyak menghabiskan waktu untuk “salat, mengaji di dalam penjara.” Orang Rimba lain yang ditahan di kantor polisi juga mengaku mendapat kekerasan.
“Tanpa dimintai keterangan kami dipukuli [sampai] berdarah-darah. Dipukuli menggunakan pentungan,” kata Johan, sesepuh Orang Rimba. “Keluarga tidak ada yang berani membesuk karena takut ditangkap.” BBC telah menghubungi Kombes Hari Brata, yang menjabat sebagai Kapolres Musi Rawas Utara pada 2017, terkait tuduhan ini namun kami tidak menerima respons.
Aksi yang berakhir dengan pemenjaraan masyarakat ini menjadi bagian dari sorotan proyek investigasi kami. Kami menghitung, ada setidaknya 126 aksi protes yang dilakukan masyarakat pada perusahaan sawit di 17 provinsi selama sepuluh tahun terakhir, yang semuanya terkait persoalan plasma. (Awib)
Sumber: BBCcom

Leave a Comment