Pendaftaran Tanah Adat Jangan Sampai Jadi Masalah Baru

May be an image of 1 person
Di samping memperjelas subyek dan obyek hak atas tanah adat, perlu pula dipahami dinamika hubungan hukum (baca: jenis hak) di antara keduanya. Sebab, masyarakat adat tidak imun dari perubahan.
Perkumpulan Karsa – Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat mengatur bahwa tanah adat akan didaftar dalam buku tanah. Lalu, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, di atas tanah adat itu bisa diterbitkan hak pengelolaan untuk masyarakat adat. Selanjutnya, di atas hak pengelolaan itu, juga bisa diterbitkan hak guna usaha. Jika masa berlaku HGU habis, tanah kembali ke masyarakat adat.
Rencana pemerintah ini tentu perlu disambut baik. Dengan beleid baru, itu sudah terjawab persoalan yang dihadapi selama ini. Meski UUD 1945 sudah mengakui hak masyarakat adat, termasuk atas tanah adat, yang terjadi selama ini adalah kekosongan hukum. Terlepas dari pro-kontra yang muncul, dapat melangkah maju. Namun, tetap harus diingat, penatausahaan tanah adat bukanlah perkara mudah. Salah-salah bisa menimbulkan masalah baru.
Kerumitan eksternal-internal
Secara eksternal, tidak mudah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam berbagai undang-undang (UU). Konsepsi kebijakan tidak kompatibel realitas sosio-antropologi di lapangan. Belum lagi, sistem penguasaan tanah secara adat itu berlapis-lapis.
Kebijakan yang ada tidak berorientasi pada keterlanjuran perampasan tanah adat pada masa lalu. Sangat mengagungkan pendekatan de jure yang butuh biaya yang tidak murah ketimbang de facto yang mengutamakan pendekatan akademik. Kemauan politik pejabat atau birokrat di pusat ataupun daerah untuk melanjutkan perintah UU masih sangat rendah. Kebijakan yang ada tidak berorientasi pada keterlanjuran perampasan tanah adat pada masa lalu.
Secara internal sudah terjadi proses individualisasi penguasaan tanah adat, baik secara terbuka (manifest) maupun diam-diam (latent). Batas antartanah adat pun banyak yang memudar; adanya klaim yang tumpang-tindih, baik klaim intra maupun inter komunitas adat. Situasi ini tentu rawan berkembang ke arah konflik horizontal. Belum lagi otoritas pimpinan adat yang mulai memudar.
Obyek dan subyek yang beragam
UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tidak memberi batasan yang optimal tentang pengertian tanah/hak ulayat ini. Pada Penjelasan untuk Pasal 3 hanya disebutkan, ”Yang dimaksud dengan ’hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu’ ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut beschikkingsrecht.
Sementara pada Penjelasan Umum (II angka 3) yang dirujuk oleh Penjelasan Pasal 3 tersebut juga tidak menjelaskan apa itu tanah dan/atau hak ulayat itu, tetapi lebih mengatur bagaimana pelaksanaan hak ulayat itu dalam konteks hukum agraria yang diberlakukan seiring dengan hadirnya UU PA No 5/1960.
Herman Soesangobeng (2012) mengatakan bahwa ulayat bukanlah sekadar hak, melainkan sebagai kewenangan persekutuan-persekutuan berbasis adat untuk mengatur penguasaan, pemanfaatan, serta penggunaan wilayahnya dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya. Jadi dapat ditafsir semacam ’hak menguasai dari negara’, sebagaimana yang dinormakan dalam UU PA No 5/1960.
Di samping sebagai wilayah kedaulatan, ulayat juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk hak atas tanah dan sumberdaya alam pada umumnya. Prof. Maria S.W. Soemardjono, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, menjelaskan bahwa kategori hak penguasaan tanah ulayat dan/atau tanah adat itu merentang mulai dari yang memiliki dimensi publik-privat di satu ujung hingga yang hanya bersifat privat di ujung yang lain. Maka, bentuk hak-hak yang dikenal di atas tanah ulayat/tanah adat ini juga mencakup spektrum yang luas mulai dari yang bersifat komunal hingga yang bersifat individual.
Dengan konstelasi pemahaman yang demikian itu, dapat dikatakan bahwa tanah ulayat/tanah adat yang akan menjadi target penatausahaan tanah adat dapat terbagi ke dalam (2) dua kategori utama. Pertama adalah tanah adat dalam konteks sebagai wilayah kedaulatan suatu susunan masyarakat adat, seperti nagari (Minangkabau); bius atau huta (Batak Toba); kampung (Papua dan Papua Barat); marga (Sumatera bagian Selatan), golo atau beo (Manggarai, Flores), sekadar menyebut beberapa contoh saja. Berdasarkan ulayat dalam pengertian wilayah kedaulatan inilah, sebagaimana diatur dalam UU Desa No 6/2014.
Kategori kedua adalah tanah adat dalam konteks hak atas tanah meliputi (a) tanah adat/tanah ulayat yang berada di bawah penguasaan langsung suatu unit sosial adat dengan otoritas publik tertentu (seperti nagari dan lain-lain tadi); dan tanah ulayat/adat yang dikuasi oleh unit-unit sosial yang lebih kecil, yang menjadi bagian dari susunan unit sosial yang lebih besar. Seperti kaum dan suku dalam konteks nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau.
Pada tahun anggaran 2021, Kementerian ATR/BPN telah menugaskan 3 (tiga) tim penelitian untuk melakukan kegiatan identifikasi dan inventarisasi tanah adat dari tiga perguruan tinggi negeri. Merujuk pada hasil kajian yang telah diperoleh sejauh ini, sepertinya kajian identifikasi dan inventarisasi tanah adat umumnya baru dilakukan untuk tanah adat pada kategori kedua. Kecuali dengan sedikit pengecualian pada kasus kajian di Provinsi Papua dan Papua Barat yang juga mengidentifikasi dan inventarisasi tanah adat pada kategori 1.
Boleh jadi memang tidak perlu ada upaya khusus untuk melakukan identifikasi dan inventarisasi tanah ulayat pada kategori 1 itu. Saat ini daftar 543 nagari yang ada saat ini di Sumatera Barat sudah tersedia. Demikian pula Perda Pengakuan Uma sebagai Masyarakat Hukum Adat di Mentawai juga sudah tersedia. Di Papua sudah ada pula penetapan 30-an kampung adat di Kabupaten Jayapura, misalnya. Demikian pula dengan daftar desa adat di Bali. Maka, dalam konteks penataanusahaan tanah adat dalam makna sebagai kategori 1, petugas dari ATR/BPN tinggal datang ke lokasi-lokasi yang dimaksud.
Hanya saja, dalam hal tanah adat dalam pengertian sebagai suatu wilayah kedaulatan yang akan didaftarkan ke dalam daftar buku tanah perlu diatur lebih lanjut bagan-bagian mana saja yang dapat diterbitkan hak pengelolaan.
Di sisi lain, karena itulah seharusnya kegiatan identifikasi dan inventarisasi tanah adat ini juga menyasar tanah adat sebagai hak atas tanah.
Jika tidak demikian, keberadaan tanah adat yang lebih kuat kewenangan privatnya terancam proses ’komunalisasi’ yang akan merugikan ’perhimpunan-perhimpunan’, bahkan para individu yang memegang hak guna secara turun-temurun, yang sejatinya menjadi bagian ’kesatuan masyarakat hukum adat’ itu.
Penetapan kedamangan yang diasumsikan memiliki hak ulayat dalam pengertian sebagai wilayah kedaulatan berdasarkan Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah dan Peraturan Gubernur No 13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah sepertinya perlu ditinjau ulang.
Sejarah menunjukkan bahwa damang adalah jabatan (adat) yang mengatur persengketaan di wilayah kedamangan. Tidak ada bukti sejarah dan etnografis yang dapat menunjukkan bahwa di wilayah kedamangan secara aktual berlangsung suatu sistem bescikkingsrecht. Dengan kata lain, perlu upaya lain untuk menemukan tanah ulayat dalam makna sebagai wilayah kedaulatan ataupun hak atas tanah di Kalimantan Tengah ini.
Perlu persiapan sosial
Untuk itu, agar program penatausahaan tanah adat/tanah ulayat ini sampai pada tujuan yang sebenarnya, para pihak yang terlibat dalam proyek, termasuk publik yang lebih luas, perlu memahami konstelasi subyek, obyek, dan bentuk-bentuk hubungan hukum atas tanah adat yang bersangkutan. Sekurang-kurangnya para-pihak itu perlu memahami beberapa pengertian beberapa konsep dasar terkait tanah adat dan atau tanah ulayat ini, termasuk untuk menemukenalinya secara cepat dan tepat.
Memperoleh kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah, termasuk hak atas tanah adat, memang merupakan suatu keniscayaan. Dengan catatan, proses penatausahaan tanah adat yang sejatinya dimaksudkan demi terwujudnya kepastian dan perlindungan hukum jangan sampai justru menimbulkan persoalan baru.
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah persoalan berupa konflik horizontal di tengah masyarakat adat itu sendiri dan/atau antar masyarakat adat. Oleh karena itu, di samping memperjelas subyek dan obyek hak atas tanah adat, perlu pula dipahami dinamika hubungan hukum (baca: jenis hak) di antara keduanya. Sebab, masyarakat adat tidak imun dari perubahan.
Singkatnya, perlu proses persiapan sosial agar program ini sampai pada tujuan yang sesungguhnya.
R. Yando Zakaria. Antropolog. Fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) serta Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (PUSTAKA)
Artikel dimuat di Kompas.id https://www.kompas.id/…/pendaftaran-tanah-adat-jangan…

Leave a Comment