Menjaga ‘Gipsi Laut’ Butuh Kebijakan Khusus Yang Berbeda Dengan Di Daratan

Perkumpulan Karsa – Kaum gipsi laut merupakan masyarakat adat maritim yang termasuk dalam rumpun Austronesia – nenek moyang masyarakat Indonesia di berbagai wilayah. Saat ini, ada dua kelompok yang termasuk dalam gipsi laut: Orang Suku Laut yang hidup di perairan sebelah barat tanah air, dan masyarakat Bajau yang hidup di Indonesia bagian tengah hingga timur. … Read more

Konservasi Hutan Lebih Efektif Bersama Masyarakat Adat

Perkumpulan Karsa – Konservasi hutan dan keanekaragaman hayati akan lebih efektif, mudah dan murah kalau melibatkan masyarakat adat maupun komunitas lokal. Karena merekalah yang sudah mempraktikkan pelestarian wilayah leluhur ini tradisional dan turun-temurun. “Bagi saya, pengakuan atas konservasi itu ada di pengakuan untuk keberagaman di lapangan,” kata Gam A. Shimray, Sekjen Asia Indigenous People Pact, … Read more

Mampukah Kerangka ESMF Mensejahterakan Komunitas Masyarakat Adat

May be an image of 1 person
Jika proyek bersinggungan langsung dengan masyarakat adat, maka harus ada dokumen indigenous peoples plan (IPP) atau yang juga disebut Community Development Plan.
Perkumpulan Karsa – Program Percepatan Pembaharuan Agraria (P3A) Pemerintah Indonesia sedang dilaksanakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan dukungan dari Bank Dunia. Tujuannya untuk memperjelas penggunaan lahan yang sebenarnya dan kepastian hak atas tanah di tingkat desa di tujuh propinsi terpilih. Program ini diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan, tata kelola lahan, stabilitas sosial, pertumbuhan inklusif, penyelesaian konflik serta perlindungan dan konservasi lingkungan.
Untuk mempercepat pemetaan dan pendaftaran tanah, pemerintah saat ini tengah melaksanakan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Kelak tidak ada satu luasan lahan atau bidang tanah yang tidak dipetakan atau tidak terdaftar. Diharapkan perselisihan tanah karena batas-batas yang tumpang tindih dan kekeliruan sertifikasi bisa ditangani lebih baik dan sengketa di masa depan dapat diminimalisir. Program mentargetkan pendaftaran 23 juta bidang tanah di luar kawasan hutan pada tahun 2019, terutama di propinsi prioritas seperti Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, serta Kalimantan Timur, Tengah, Barat dan Selatan.
Dalam hal itu, pemerintah menyusun kerangka kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial atau yang disebut dengan ESMF (Enviromental and Social Manajement Framework) yang memberikan tinjauan umum tentang proses, susunan kelembagaan dan kerangka kerja untuk menangani dan mengurangi aspek lingkungan dan sosial dari program tersebut. Kegiatan program akan melibatkan dan mempengaruhi Masyarakat Adat secara langsung, karena kegiatan pemetaan kemungkinan akan dilakukan di wilayah yang diklaim oleh Masyarakat Adat.
Hal yang perlu menjadi catatan dari permasalah yang selama ini kerap muncul untuk segera diantisipasi adalah: (a) kurangnya partisipasi masyarakat, karena lemahnya akses informasi, diskriminasi kelompok tertentu serta kurangnya kemauan berpartisipasi; (b) kurang-akuratnya pengumpulan data fisik dan data yuridis, menimbulkan kekeliruan sertifikasi sebagai sumber sengketa di masa depan; (c) potensi ketegangan dan konflik yang bersumber dari kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang program. Penyelesaian konflik kepemilikan tanah menjadi masalah utama juga yang perlu diperhatikan.
Dijabarkan pula bagaimana pendekatan utama ESMF dalam langkah-langkah pencegahan dan mitigasi resiko sebagai berikut: (a) adanya keterlibatan masyarakat; (b) prosedur penyaringan pengamanan; (c) peningkatan keterlibatan pemangku kepentingan selama persiapan dan pelaksanaan program; (d) mekanisme penanganan keluhan; (e) mengatasi resiko dampak kerusakan lingkungan; (f) pengarus-utamaan masalah gender; (g) memastikan keterlibatan masyarakat adat; (h) pemantauan oleh masyarakat; (i) peningkatan kapasitas;
(j) memperhatikan sumberdaya untuk pengelolaan lingkungan dan sosial, dan; (k) rencana pemberitahuan dan konsultasi publik. Selain itu, disiapkan pula perangkat program bernama Project Operations Manual (POM) yang akan mengkonsolidasikan ketentuan mengenai konsultasi publik, pemberitahuan informasi dan penanganan keluhan yang penting bagi pelaksanaan dan pengelolaan ESMF. POM akan menguraikan, menetapkan sumberdaya dan batas waktu untuk penerapan tindakan yang direkomendasikan. (Sumber: Draft Final Program Percepatan Pembaharuan Agraria: Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial/ESMF).
Mencermati paparan dari bahan kerangka kerja ESMF tersebut, berikut beberapa catatan kritis yang bisa penulis sampaikan:
(1) Sebuah kemajuan adanya suatu kebijakan program pemerintah yang bersifat top-down yang turut memperhatikan serta menyiapkan langkah-langkah antisipatif terhadap masalah-masalah yang kemungkinan muncul saat implementasinya nanti di lapangan. Seperti diketahui bahwa masyarakat bawah sudah jenuh dengan pola-pola top-down yang selama ini dijadikan model dalam menetapkan sebuah kebijakan.
(2) Untuk itu perlu kiranya (karena hal ini juga sudah dijamin dalam penjelasan program), agar masyarakat lokal tetap diberi kelonggaran dalam menentukan dan menetapkan sendiri model-model ataupun pendekatan dalam pelaksanaan program percepatan pembaharuan agraria ini mengingat karakter dan kebiasaan di masing-masing daerah (lokasi) berbeda-beda. Jangan memaksakan keseragaman pendekatan.
(3) Banyaknya timbul konflik atau pun sengketa lahan di masa lalu lebih disebabkan adanya intervensi dari aparat ataupun unsur pemerintah sendiri yang lebih mengakomodir ataupun memberi akses kepada pengusaha baik dalam negeri maupun luar negeri (MNC), ketimbang kepada masyarakat adat/lokal yang sudah menggarap lahan sekian puluh tahun lamanya. Termasuk adanya lahan-lahan besar/luas yang diberikan dan dikuasai perorangan (pengusaha/pejabat) ataupun instansi negara (TNI dll).
(4) Dibutuhkan ketegasan program agar bersikap adil dan berani menindak secara tegas bagi pelaku atau pun pemilik hak guna usaha lahan luas yang dimiliki perorangan dan instansi negara tadi yang justru tidak produktif dikelola. Sementara komunitas masyarakat adat masih banyak yang justru diusir hingga dianggap sebagai pengrusak lahan yang ingin mereka olah demi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Komunitas masyarakat adat seperti itu menjadi korban dari ketidakadilan kebijakan kepemilikan lahan oleh pemerintah masa lalu.
(5) Setuju untuk melibatkan komponen masyarakat secara lebih luas dalam pelaksanaan program nantinya. Terlebih kepada mereka kelompok LSM yang selama ini sudah mendampingi komunitas masyarakat adat, hingga memiliki pengetahuan terkait dengan pola pendekatan. Selain itu juga mereka memiliki data dan sumber yang lebih valid yang dapat digunakan dalam pembuatan kajian kebijakan. Juga mereka yang ada dalam komunitas masyarakat adat sendiri, karena bagaimanapun mereka lah yang akan dijadikan sebagai obyek sekaligus subyek kebijakan.
(6) Jika program percepatan pembaharuan agraria berjalan, agar arahan dari kerangka kerja ESMF benar-benar dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa dokumen lain yang harus disusun, yang bersifat operasional. Misalnya, jika proyek bersinggungan langsung dengan masyarakat adat, maka harus ada dokumen indigenous peoples plan (IPP) atau yang juga disebut Community Development Plan. Tentu saja harapannya perangkat operasional program semacam IPP yang dimaksud dalam ESMF tersebut harus segera dibuat.
(7) Agar pula program ini berlanjut kepada bagaimana mensejahterakan tingkat hidup masyarakat adat pengelola lahan. Mereka sebagai penduduk dan juga warga negara berhak mendapat pelayanan yang diberikan negara sama dengan yang didapatkan warga lainnya yang hidup, misal di daerah perkotaan di pulau Jawa. Harga jual hasil panen tinggi dan kebutuhan pangan terjangkau. Pun fasilitas infrastruktur, pelayanan kesehatan dan pendidikan juga ekonomi (pasar) agar dikembangkan di wilayah-wilayah hutan terpencil dan daerah perbatasan (terluar).
Demikian.
*) Agung Wibawanto, Pengamat sosial dan Peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA)

Pendaftaran Tanah Adat Jangan Sampai Jadi Masalah Baru

Di samping memperjelas subyek dan obyek hak atas tanah adat, perlu pula dipahami dinamika hubungan hukum (baca: jenis hak) di antara keduanya. Sebab, masyarakat adat tidak imun dari perubahan. Perkumpulan Karsa – Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat … Read more

Lindungi Masyarakat Adat, Menyelamatkan Hutan di Kepulauan Bangka Belitung

Perkumpulan Karsa – Sebagian besar masyarakat yang hidup di sekitar perbukitan dan pesisir di Kepulauan Bangka Belitung, merupakan masyarakat adat. Misalnya Suku Mapur, Suku Jerieng, Suku Sawang, Suku Sekak, serta berbagai Suku Melayu lainnya. Keberadaan mereka harus diakui dan dilindungi, agar hutan dan laut di kepulauan tersebut dapat diperbaiki dan diselamatkan. “Suku Mapur, salah satu … Read more

Menjaga Tradisi dan Adat Suku Kulawi, di Tengah Arus Globalisasi

Perkumpulan Karsa – Masyarakat suku To Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) masih teguh mempertahankan tradisi dan adat. Tak tergerus oleh perubahan zaman, masyarakat Kulawi masih kental menerapkan tradisi dan adat dalam kehidupan sekarang. Memang, ada beberapa tradisi yang sudah ditinggalkan. Bahkan ada pula yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu saja. Salah satu upaya … Read more

Upaya Melegalkan Hutan Adat Papua: Antara Semangat Masyarakat dan Hambatan Regulasi

Perkumpulan Karsa — Masyarakat Papua telah mengenal konsep hutan adat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. Bagi warga di bumi cenderawasih, hutan dan segala yang terkandung di dalamnya adalah ‘ibu’ yang menaungi seluruh aktivitas mereka. Ini bukan sembarang konsep. Dibandingkan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia, angka tutupan hutan Papua adalah yang terbesar. Luasnya mencapai 34,4 juta … Read more

Kajian Hukum Adat

Pengertian Hukum Adat. Menurut buku Sistem Hukum Indonesia karya Sukardi, hukum adat diartikan sebagai keseluruhan kaidah-kaidah atau norma-norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang berasal dari adat istiadat atau kebiasaan masyarakat Indonesia untuk mengatur tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, terhadap yang melanggarnya akan dikenakan sanksi. Sementara dalam buku berjudul Perbandingan Sistem Hukum (Hukum Barat, Adat … Read more

Hukum Pidana Adat Diakui Dalam RUU KUHP?

KUHP saat ini tidak mengenal hukum pidana adat, meski di banyak tempat masih hidup pidana adat. Nah, dalam draft RUU KUHP, hukum pidana adat diakui sebagai salah satu sumber hukum negara sehingga bisa menjadi sumber hukum positif. Pengakuan itu tertulis tegas dalam Pasal 2 RUU KUHP. Berikut bunyi Pasal 2 RUU KUHP yang dikutip detikcom, … Read more

Pahami Ciri dan Fungsi Kearifan Lokal

“Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari”. Istilah kearifan lokal dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam undang-undang tersebut, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain … Read more