HuMA: Pentingnya Koalisi Hutan Adat dan Peran Perempuan Dalam Mendorong Kebijakan Daerah

Diplomat Keadilan Ekologis dari Perkumpulan HuMa Indonesia, Nora Hidayati saat berbicara dalam Webinar.
Perkumpulan Karsa, Kalbar – Merespon dimasukkannya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022, HuMa memaparkan beberapa catatan terkait pentingnya koalisi hutan adat dan peran perempuan dalam mendorong kebijakan di tingkat daerah.
Diplomat Keadilan Ekologis dari Perkumpulan HuMa Indonesia, Nora Hidayati mencatat terdapat beberapa hal penting terkait hutan adat dalam Webinar Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) bertajuk Jaminan Hak atas Tanah dan Akses Wilayah Kelola Ruang sebagai Wujud Perlindungan dan Pengakuan Hak Perempuan Adat di Indonesia, Rabu (25/05/2022).
“Hutan Adat ini menjadi secercah harapan agar dapat memastikan rasa aman bagi masyarakat adat ketika melakukan pengelolaan di dalam kawasan hutan, tidak dikriminalisasi lagi dan menjadi kepastian hukum bagi MHA,” terang Nora.
Nora menjelaskan hingga saat ini setidaknya terdapat beberapa kebijakan terkait dengan hutan adat pasca putusan Mahkama Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, diantaranya 1) Permen LHK No. 32 tahun 2015 tentang Hutan Hak; 2) Permen LHK No. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial; 3) Permen LHK No. 21 tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak; 4) Permen LHK No. 17 tahun 2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak; dan 5) Permen LHK No. 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Namun, Nora menggarisbawahi bahwa kebijakan-kebijakan tersebut bersifat sektoral. “Ini masih sangat sektoral kehutanan. Beberapa aturan tersebut masih sedikit bicara tentang adatnya itu sendiri,” terangnya.
Di dalam kebijakan-kebijakan tersebut, Hutan adat dapat ditetapkan ketika masyarakat adat memiliki Perda. Di beberapa tempat, Masyarakat Adat perlu bekerja keras “masuk ke gelanggang pertempuran politik” di tingkat daerah untuk menggolkan satu Perda.
“Ini butuh waktu lama dan biaya yang sangat besar. Dan itu yang melakukan MHA itu sendiri, dan pemerintah belum melakukan suatu upaya untuk mempermudah itu. Jadi, kembali pada political will di tingkat daerah,” imbuh Nora.
Catatan lain HuMa terkait implementasi kebijakan adalah sentralisasi kewenangan di Pemerintahan Pusat, dimana pemerintah pusat dan KLHK mempunyai otoritas dan ruang yang besar untuk menafsirkan satu Perda.
KLHK mempunyai kewenangan penuh untuk menetapkan pengakuan Masyarakat Hukum Adat sesuai dengan persyaratan-persyaratan tertentu. “Ini menjadi salah satu kendala dalam penetapan Hutan Adat. Tadi juga Bu Maria menyampaikan terkait lambannya pemerintah dalam menetapkan Hutan Adat.”
Menurut pemaparan Nora, sampai hari ini hanya 76.156 hektar Hutan Adat yang sudah ditetapkan. Namun, di 89 komunitas masyarakat adat di 13 provinsi, Nora mencatat belum semua semua SK-nya sampai ke tangan Masyarakat Adat itu sendiri.
“Wilayah khusus dengan otonomi khusus itu sampai hari ini belum mengantongi penetapan Hutan Adat. Aceh dan Papua sampai hari ini belum ada satupun penetapan hutan adat padahal dari 2016 dampingan dari Koalisi Masyarakat Adat di Aceh itu sudah mengusulkan. Sampai hari ini tidak ada kejelasan dan prosesnya sampai di mana,” kata Nora.
Selain itu, peran perempuan adat sangat penting dalam menjaga hutan adat. Perempuan adat adalah penjaga pengetahuan atas kedaulatan pangan dan energi dalam keluarga dan komunitas adat. Perempuan adat juga merupakan pemegang otoritas atas keberlangsungan kehidupan dan sumber-sumber penghidupan keluarga dan komunitas.
“Harapan kami Hutan Adat dan RUU Masyarakat Hukum Adat ini dapat menjadi penyelesaian konflik kehutanan antara masyarakat adat dengan kepentingan lain, karena sektor kehutanan adalah salah satu sektor dengan area terluas,” harap Nora.
Sementara itu, meskipun RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI pada tahun 2022, namun tidak berarti RUU MHA itu akan menjamin sepenuhnya hak-hak perempuan dalam mengelola hutan adat.
Hal itu disampaikan oleh Deputy The Asia Foundation (TAF), Hana Satriyo pada acara yang sama. “Kita berharap agar RUU MHA ini dapat memberikan jaminan hak atas akses tanah dan wilayah lingkungan, penguatan hak perempuan adat di Indonesia. Serta dari webinar ini dapat merefleksikan perjuangan perempuan adat di seluruh Nusantara dalam memperkuat kedaulatan, akses dan peran ke depan,” imbuh Hana Satriyo.
Sementara itu, dalam presentasinya, Maria SW. Sumardjono menyebutkan banyak sekali isu-isu yang terkait dengan Aspek Pertanahan dalam RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, mulai dari ruang lingkup kewenangan, pengakuan, perlindungan, hingga kompensasi.
“MHA yang telah memperoleh penetapan berhak atas perlindungan. Pertanyaannya, apakah MHA yang belum memperoleh penetapan tidak berhak atas perlindungan? Bukankah negara wajib melindungi segenap warga negaranya tanpa kecuali? Barangkali yang dimaksud adalah bahwa dengan adanya Penetapan, maka MHA memperoleh jaminan atas perlindungan sepenuhnya,” ungkap Maria.
Dalam konteks perlindungan hak atas tanah bagi masyarakat adat saat ini masyarakat sipil terus mendorong disahkannya RUU MHA, mengingat selama ini pengaturannya tersebar dalam sejumlah peraturan sektoral yang parsial yang tumpang tindih sehingga memunculkan konflik kepentingan yang merugikan Masyarakat Adat. (Awib)

Leave a Comment